“1. aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah), 2. dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah ini, 3. dan demi bapak dan anaknya. 4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. 5. Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali-kali tiada seorangpun yang berkuasa atasnya? 6. dan mengatakan: “Aku telah menghabiskan harta yang banyak”. 7. Apakah Dia menyangka bahwa tiada seorangpun yang melihatnya? 8. Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, 9. lidah dan dua buah bibir. 10. dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (al-Balad: 1-10)
Yang demikian itu merupakan sumpah dari Allah dengan kota Makkah, Ummul Qura pada saat penghuni di sana dihalalkan, untuk mengingatkan akan keagungan dan kemuliaannya pada saat penduduknya berikhram. Dari Mujahid, Khushaif mengataka: “laa uqsimu biHaadzal baladi (“Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini [Makkah].”) tidak ada penolakan atas mereka. Aku bersumpah dengan negeri ini. Syabib bin Bisyir mengatakan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas: “laa uqsimu biHaadzal baladi (“Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini [Makkah].”) yakni kota Makkah ini.” Dia berkata: “Hai Muhammad, diperbolehkan bagimu untuk berperang di dalamnya.” Demikian juga yang diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Abu Shalih, ‘Athiyah, adl-Dlahhak, Qatadah, as-Suddi, dan Ibnu Zaid. Mujahid mengatakan: “Apa yang engkau dapatkan di dalamnya maka ia halal bagimu.” Al-Hasan al-Bashri mengatakan: “Allah menghalalkannya untuk beliau sesaat di waktu siang hari.” Dan inilah makna yang mereka katakan. Dan hal itu juga telah disebutkan oleh hadits yang keshahihannya telah disepakati:
“Sesungguhnya negeri ini telah diharamkan [disucikan] oleh Allah pada saat Dia menciptakan langit dan bumi. Dan negeri tersebut tetap dalam keadaan haram [suci] dengan keharamannya [kesuciaannya] yang telah ditetapkan oleh Allah sampai hari kiamat kelak. Pepohonannya tidak boleh ditebang, tanamannya yang masih hidup tidak boleh dicabut. Dan sesungguhnya pernah dihalalkan bagiku [berperang di sana] sesaat pada siang hari. Dan pada hari ini pengharamannya telah berlaku lagi, sebagaimana diharamkannya kemarin. Ketahuilah, hendaklah orang yang hadir hari ini menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.”
Dalam lafazh lain disebutkan: “Jika ada seseorang yang merasa diberi keringanan karena peperangan yang pernah dilakukan Rasulullah, maka katakanlah: ‘Sesungguhnya Allah mengizinkan bagi Rasul-Nya dan tidak mengizinkan bagi kalian.’”
Firman Allah: wa waadidiw wa maa walada (“Dan demi bapak dan anaknya,”) Mujahid, Abu Shalih, Qatadah, adl-Dlahhak, Sufyan ats-Tsauri, Sa’id bin Jubair, as-Suddi, al-Hasan al-Bashri, Khushaif, Syarhabil bin Sa’ad dan lain-lainnya mengatakan: “Yang dimaksud dengan bapak di sini adalah Adam sedang anaknya adalah anak Adam.” Dan apa yang menjadi pendapat Mujahid dan para shahabatnya inilah yang paling kuat, karena Allah Ta’ala bersumpah dengan Ummul Qura, yaitu tempat-tempat yang didiami. Dia bersumpah dengan orang yang mendiaminya, yaitu Adam, bapak ummat manusia dan semua anaknya. Ibnu Jarir memilih berpendapat bahwa hal itu bersifat umum yang mencakup setiap orang tua dan anaknya. Dan pendapat inipun mengandung kemungkinan.
Firman Allah: laqad khalaqnal ingsaana fii kabadin (“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada di dalam susah payah.”) Sa’id bin Jubair berkata tentang “fii kabad”: yakni dalam kesusahan dan pencarian kehidupan.” Ibnu Jarir memilih berpendat bahwa yang dimaksud adalah berbagai urusan yang sulit lagi payah.
Firman-Nya: a yahsabu allay yaqdira ‘alaiHi ahad (“Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali-sekali tidak ada seorangpun yang berkuasa atasnya?”) al-Hasan al-Bashri mengatakan: “Yakni mengambil hartanya.” Mengenai firman-Nya ini Qatadah mengatakan: “Anak Adam mengira bahwa mereka tidak akan ditanya tentang harta tersebut, darimana dia memperolehnya dan kemana dia menyalurkannya.” Mengenai firmannya ini as-Suddi mengatakan: “Allah berfirman.”
Firman-Nya: yaquulu aHlaktu maalan (“Dia mengatakan: ‘Aku telah menghabiskan harta yang banyak.’”) artinya anak Adam mengatakan: “Aku telah membelanjakan harta yang cukup banyak.”) demikian yang dikemukakan oleh Muhahid, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi dan lain-lain. A yahsabu allam yaraHuu ahad (“Apakah dia menyangka bahwa tidak ada seorangpun yang melihatnya.” Mujahid mengatakan: “Yakni, apakah dia mengira Allah tidak melihatnya?” demikian juga perkataan ulama salaf lainnya.
Firman-Nya: a lam naj’al laHuu ‘ainaiin (“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata.”) yakni melihat dengan keduanya. Wa lisaanan (“Dan lidah”) yakni dengannya dia bicara sehingga ia dapat mengungkapkan apa yang ada di dalam hati kecilnya. Wa syafataiin (“Dan dua buah bibir.”) dengan kedua bibir itu dia meminta bantuan untuk dapat berbicara, memakan makanan, sekaligus untuk memperindah wajah dan mulutnya. Wa HadainaaHun najdaiin (“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan”) yakni dua jalan. Sufyan ats-Tsauri berkata dari ‘Abdullah, yakni bin Mas’ud tentang ayat ini dia mengatakan: “Kebaikan dan keburukan.” Demikian yang diriwayatkan oleh ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, Abu Wa-il, Abu Shalih, Muhammad bin Ka’ab, adl-Dlahhak, ‘Atha’ al-Khurasani. Dan perbandingan ayat ini adalah firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (al-Insaan: 2-3)
(bersambung)
“11. tetapi Dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. 12. tahukah kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? 13. (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, 14. atau memberi Makan pada hari kelaparan, 15. (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, 16. atau kepada orang miskin yang sangat fakir. 17. dan Dia (tidak pula) Termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. 18. mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan. 19. dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. 20. mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.” (al-Balad: 11-20)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar mengenai firman-Nya: falaqtahama (“Maka tidaklah sebaiknya [dengan hartanya itu] ia menempuh.”) berarti masuk. Al’aqabah (“jalan yang mendaki lagi sukar.”) dia mengatakan: “Gunung-gunung di neraka jahanam.” Qatadah mengatakan: “Kata tersebut berarti kesulitan yang sangat berat lagi menyusahkan, lalu mereka pun menceburkan diri dalam kesulitan mentaati Allah Ta’ala.” Lebih lanjut Qatadah berkata tentang firman-Nya: wa maa adraaka mal’aqabaH (“Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?”) kemudian Allah Ta’ala memberitahukan mengenai kesulitan yang dihadapinya, dimana Dia berfirman: fakkuraqabatin. Aw ith’aamun (“[yaitu] melepaskan budak dari perbudakan atau memberi makan.”) dibaca dengan menggunakan idlafah (mudlaf mudlaf ilaiHi). Dan juga dibaca sebagai kata kerja yang di dalamnya terdapat kata ganti fa’il (subyek) sedangkan ‘raqabah’ (budak) berkedudukan sebagai maf’ul (obyek). Kedua bacaan tersebut mempunyai pengertian yang berdekatan.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa’id bin Mirjanah bahwasannya dia pernah mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang memerdekakan budak wanita yang beriman, maka Allah akan membebaskan dari setiap anggota tubuhnya satu anggota tubuh orang yang membebaskan dari api neraka sehingga dia dapat membebaskan tangannya dengan tangan [budak dari perbudakan], kaki dan tangan, dan kemaluan dengan kemaluan.”
Kemudian ‘Ali bin al-Husain bertanya: “Engkau mendengar langsung hal tersebut dari Abu Hurairah?” Sa’id pun menjawab: “Ya.” Lebih lanjut ‘Ali bin al-Husain berkata kepada salah satu puteranya yang paling cerdas, “Panggil Mithraf.” Setelah Mithraf hadir di hadapannya, maka ‘Ali berkata,”Pergilah, engkau sekarang bebas karena Allah.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i. Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa anak muda yang dimerdekakan oleh ‘Ali bin al-Husain adalah Zainal ‘Abidin, yang juga diberi uang 10.000 dirham.
Dan firman Allah Ta’ala: aw ith’aamung fii yaumin dzii masghabah (“Atau memberi makan pada hari kelaparan.”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Yakni orang yang berada dalam kelaparan.” Demikian pula yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, al-Hasan, adl-Dlahhak, dan as-Suddi, sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Salman bin ‘Amir, dia berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Shadaqah kepada orang miskin itu mendapat pahala shadaqah saja. Dan shadaqah kepada kerabat itu mendapat dua pahala yaitu pahala shadaqah dan silaturahim.’” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa-i.
Firman Allah Ta’ala: aw miskiinan dzaa matrabaH (“atau orang miskin yang sangat fakir.”) yaitu orang-orang yang benar-benar hidup miskin yang tidur beralaskan tanah. Ibu ‘Abbas mengatakan: “Dzaa matrabaH” berarti orang yang terbuang di jalanan, yang tidak memiliki rumah atau sesuatu yang menjaganya dari tanah.” Sedangkan ‘Ikrimah mengemukakan: “Yaitu orang miskin yang mempunyai hutang dan dalam keadaan benar-benar membutuhkan.”
Firman Allah Ta’ala: tsumma kaana minalladziina aamanuu (“Dan dia termasuk orang-orang yanng beriman.”) maksudnya dengan sifat-sifat yang terpuji lagi suci tersebut, maka dia termasuk orang yang beriman dengan hatinya serta mengharap pahala tersebutt di sisi Allah. Sebagaimana firman Allah: “dan Barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (al-Israa’: 19)
Firman Allah: wa tawaa shaubish shabri wa tawaa shaubil marhamaH (“Dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.”) yakni dia termasuk orang mukmin yang selalu mengerjakan amal shalih dan senantiasa memberi nasehat untuk bersabar atas gangguan orang lain serta berpesan untuk saling mengasihi, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits: “Orang-orang yang penuh kasih sayang akan selalu dikasihi oleh Rabb Yang Mahapemurah. Kasihilah orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya kalian akan dikasihi Rabb yang ada di langit.”
Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak menyayangi anak kecil di antara kami dan [tidak] mengetahui hak orang yang lebih tua di antara kami berarti dia bukan dari golongan kami.”
Firman Allah: ulaa-ika ash-haabul maimanah (“Mereka [orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu] adalah golongan kanan.”) yaitu orang-orang yang mensifati diri dengan sifat-sifat tersebut termasuk golongan kanan. Kemudian firman-Nya: wal ladziina kafaruu bi-aayaatinaa Hum ash-haabul masy-amah (“Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka adalah golongan kiri.”) yakni orang-orang yang termasuk dalam golongan kiri. ‘alaiHim naarum mu’shadaH (“Mereka berada dalam neraka yang tertutup rapat.”) yakni yang tertutup rapat bagi mereka sehingga mereka tidak bisa menghindari dan tidak juga mereka bisa keluar darinya. Mujahid mengatakan: “Pintu yang tertutup, menurut bahasa kaum Quraisy, yaitu terkunci.” Adl-Dlahhak mengatakan: “Mu’shadah berarti semua berwujud dinding dan tidak memiliki pintu.
Sekian.
No comments:
Post a Comment