Tafsir Ibnu Katsir Surah Adl-Dluhaa (Waktu Matahari Naik Sepenggalah)
Surah Makkiyaah, Surah ke 93: 11 ayat
Surah Makkiyaah, Surah ke 93: 11 ayat
“1. demi waktu matahari sepenggalahan naik, 2. dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), 3. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, 4. dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan) 5. dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas. 6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? 7. dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. 8. dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. 9. sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-wenang. 10. dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. 11. dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (adl-Dluhaa: 1-11)
Imam Ahmad meriwayatkan, Abu Nu’aim Sufyan member tahu kami dari al-Aswad bin Qais, dia berkata: aku pernah mendengar Jundub berkata: “Nabi saw. Pernah bersedih hati sehingga beliau tidak bangun satu atau dua malam. Kemudian dating seorang perempuan dan berkata: ‘Wahai Muhammad, aku tidak melihat syaitanmu melainkan dia telah meninggalkanmu.’ Kemudian Allah menurunkan ayat: wadl-dluhaa. Wallaili idzaa sajaa. Maa wadda’aka rabbuka wamaa qalaa (““1. demi waktu matahari sepenggalahan naik, 2. dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), 3. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu,”) diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i.
Yang demikian itu merupakan sumpah Allah dengan waktu dluha dan juga cahaya yang dipancarkan pada waktu itu. Wal laili idzaa sajaa (“Dan demi malam apabila telah sunyi”) yakni telah menjadi tenang, lalu digelapkan. Demikian yang dikemukakan oleh Mujahid, Qatadah, adl-Dlahhak, Ibnu Zaid, dan lain-lain. Dan hal itu yang menjadi dalil nyata yang menunjukkan kekuasaan Sang Khaliq.
Firman Allah: maa wadda’aka rabbuka (“Rabb-mu tidak meninggalkanmu”) yakni tidak membiarkanmu. Wa maa qalaa (“Dan tidak [pula] benci kepadamu.”) yakni membencimu. Wa lal-aakhiratu khairul laka minal uulaa (“Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.”) maksudnya, alam akhirat itu lebih baik bagimu daripada alam dunia ini. Oleh karena itu, Rasulullah saw. sebagai orang paling juhud di dunia ini sekaligus paling bijaksana menyikapinya, dan itu sudah sangat dikenal di dalam sirah beliau. Dan ketika diajukan pilihan kepada beliau di akhir hayatnya, antara tetap hidup di dunia sampai berakhir dan kemudian mendapatkan surga dengan menghadap Allah, maka beliau memilih apa yang ada di sisi Allah daripada dunia yang hina ini. Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, dia berkata: “Rasulullah saw. pernah berbaring di atas tikar sehingga menimbulkan bekas pada lambungnya. Pada saat bangun, aku mengusap lambung beliau dan kukatakan: ‘Wahai Rasulallah, berikan perkenan kepada kami sehingga kami bentangkan sesuatu di atas tikar tersebut untukmu.’ Maka Rasululullah saw. bersabda: ‘Aku tidak mempunyai kepentingan terhadap dunia ini. Perumpamaanku dengan dunia ini tidak lain hanyalah seperti orang yang sedang berkendaraan yang berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.’” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. At-Tirmidzi mengatakan: “Hasan shahih”.
Firman Allah: wa lasaufa yu’thiika rabbuka fatardlaa (“Dan kelak pasti Rabb-mu memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu [hati] kamu menjadi puas.”) yakni, di alam akhirat kelak, Dia akan memberikan karunia kepada beliau sehingga Dia meridlainya untuk memberi syafaat kepada umatnya dan menerima apa yang telah disediakan untuk beliau berupa kemuliaan. Imam Abu ‘Amr al-Auza’i meriwayatkan dari ‘Ali bin ‘Abdillah bin ‘Abbas, dari ayahnya, ia berkata: “Pernah diperlihatkan kepada Rasulullah saw. sesuatu yang telah dibukakan gudang penyimpan barang berharga untuk umatnya sepeninggal beliau. Maka Rasulullah saw. sangat gembira dengan hal tersebut sehingga Allah menurunkan ayat: wa lasaufa yu’thiika rabbuka fatardlaa (“Dan kelak pasti Rabb-mu memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu [hati] kamu menjadi puas.”) Maka Allah pun memberi beliau di surga satu juta istana. Di setiap istana terdapat istri-istri juga pelayan. Demikian yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari jalannya. Dan ini adalah sanad yang shahih kepada Ibnu ‘Abbas. Dan perumpamaan ini tidak diungkapkan melainkan sebagai penghentian. As-Suddi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, di antara bentuk kepuasan Muhammad saw. adalah tidak adanya seorang pun dari keluarganya yang masuk neraka. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim. Al-Hasan mengungkapkan: “Yang dimaksud dengan hal ini adalah syafaat.” Demikianlah yang dikemukakan oleh Abu ja’far al-Baqir.
Kemudian sambil menghitung nikmat-nikmat-Nya yang diberikan kepada hamba sekaligus Rasul-Nya, Muhammad saw., Allah berfirman: a lam yajidka yatiimang fa aawaa (“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.”) yang demikian itu karena ayahnya telah wafat ketika beliau masih dalam kandungan ibunya. Ada juga yang menyebutkan, setelah beliau lahir, ibunya –Aminah binti Wahb- pun wafat, ketika itu beliau masih berusia 6 tahun. Kemudian beliau berada di bawah asuhan kakeknya, ‘Abdul Muththalib sampai kakeknya meninggal dunia ketika beliau berusian 8 tahun. Lalu beliau diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Abu Thalib melindungi dan memuliakannya hingga beliau diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, sedangkan Abu Thalib masih memeluk agama nenek moyangnya. Semua itu terjadi atas takdir Allah dan pengaturnan-Nya yang baik sampai akhirnya Abu Thalib meninggal dunia sesaat sebelum beliau berhijrah.
Kemudian orang-orang bodoh dari kaum Quraisy semakin berani sehingga Allah memilihkan hijrah untuk beliau dari tengah-tengah mereka ke negeri Anshar, dari suku Auz dan Khazraj (Madinah). Sebagaimana Allah telah memberlakukan sunnah-Nya dengan penuh kesempurnaan dan kelengkapan, maka setelah beliau sampai kepada mereka, merekpun memberikan perlindungan dan pertolongan serta pengawalan, dan menyertai berperang bersama beliau. Semua itu merupakan bentuk penjagaan, perlindungan dan pertolongan Allah kepada beliau.
Firman Allah: wawajadaka dlaallang faHadaa (“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberi petunjuk.”) yang demikian itu sama seperti firman-Nya yang artinya: 52. dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”)(asy-Syuura: 52)
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat itu adalah Nabi saw. pernah tersesa di jalanan gunung yang terletak di Makkah, ketika itu beliau masih kecil, kemudian beliau bisa pulang kembali. Pada saat itu beliau sedang bersama pamannya menuju ke Syam. Beliau naik unta pada malam hari, lalu iblis datang dan menyelewengkan beliau dari jalan yang sebenarnya. Selanjutnya Jibril datang, lalu menyembur dengan sekali tiupan kepada iblil sehingga dia pergi darinya menuju Habasyah, kemudian mengarahkan binatang kendaraan itu ke suatu jalan. Demikian yang diriwayatkan oleh al-Baghawi.
Firman Allah: wawajadaka ‘aa-ilang fa-anghnaa (“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”) artinya, engkau sebagai seorang miskin yang banyak kekurangan, lalu allah memberimu kecukupan dari selain-Nya. Dengan demikian, Dia menggabungkan dua kedudukan untuk beliau, sebagai seorang miskin yang senantiasa bersabar dan seorang kaya yang senantiasa bersyukur. Dalam kitab ash-Shahihain disebutkan melalui jalan ‘Abdurrazzaq dari Ma’mar dari Hammam bin Munabbih, dia mengatakan: “Inilah diberitahukan kepada kami oleh Abu Hurairah. Dia berkata: “Rasulullah bersabda: ‘Tidaklah kekayaan itu dengan banyakknya harta, tetapi kekayaan itu adalah kayanya jiwa.’”
Di dalam kitab Shahih Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Berbahagialah orang yang memeluk Islam dan diberi rizki yang cukup dan dijadikan puas oleh Allah atas apa yang telah Dia berikan kepadanya.”
Firman Allah: fa ammal yatiima falaa taqHar (“Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.”) yakni sebagaimana kamu dulu sebagai seorang anak yatim, lalu Allah memberikan perlindungan kepadamu. Oleh karena itu, janganlah engkau menghardik anak yatim. Artinya janganlah engkau menghinakan, berbuat kasar terhadapnya dan janganlah engkau menghalanginya, tetapi hendaklah bersikap baik dan berlemah lembut terhadapnya. Qatadah mengatakan: “Jadilah engkau bagi anak yatim serperti seorang anak yang penuh kasih sayang.”
Wa ammas saa-ila falaa tanHar (“Dan terhadap orang yang minta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya.”) maksudnya, sebagaimana dulu engkau pernah tersesat, lalu Allah memberi petunjuk, maka janganlah kamu menghardik orang yang meminta ilmu dan bimbingan. Selain itu, Qatadah juga mengemukakan: “Yakni, menolak orang miskin dengan penuh kasih sayang dan kelembutan.”
Wa ammaa bini’mati rabbika fahaddits (“Dan terhadap nikmat Rabb-mu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya [dengan bersyukur]”) maksudnya, sebagaiman dulu engkau seorang miskin lagi kekurangan, lalu Allah membuatmu kaya, maka sebut-sebutlah nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepadamu. Dan di dalam kitab ash-Shahihain, dari Anas bahwa kaum Muhajirin pernah berkata: “Wahai Rasulallah, kaum Anshar telah membawa pergi semua pahala.” Maka beliau menjawab: “Tidak, selama kalian mendo’akan kebaikan untuk mereka dan pujian yang kalian berikan kepada mereka.”
Sekian.
No comments:
Post a Comment