An-Nasa-I meriwayatkan dari Jabir, dia berkata, Mu’adz pernah mengerjakan shalat, lalu ada orang yang datang mengerjakan shalat bersamanya, maka Mu’adz memanjangkan shalat. Maka dia mengerjakan shalat sendiri di satu sudut masjid. Kemudian dia kembali lagi dan sampailah berita itu kepada Mu’adz, maka Mu’adz berkata: “Dia adalah orang munafik.” Selanjutnya hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw. maka anak muda itu bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, aku datang untuk mengerjakan shalat, lalu dia memanjangkan shalatnya sehingga aku mundur dan mengerjakan sendiri di salah satu sudut masjid, sedang aku telah menambatkan untaku.” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Apakah engkau ingin membuat fitnah, wahai Mu’adz? Mengapa engkau tidak membaca Sabbihisma rabbikal a’laa atau wasy syamsi wa dluhaaHaa atau wal fajr atau wal laili idzaa yaghsyaa ?”
“bismillaaHir rahmaanir rahiim. 1. demi fajar, 2. dan malam yang sepuluh[1572], 3. dan yang genap dan yang ganjil, 4. dan malam bila berlalu. 5. pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal. 6. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad? 7. (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai Bangunan-bangunan yang tinggi[1573], 8. yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, 9. dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah[1574], 10. dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), 11. yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, 12. lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, 13. karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab, 14. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (al-Fajr: 1-14)
[1572] Malam yang sepuluh itu ialah malam sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan. dan ada pula yang mengatakan sepuluh yang pertama dari bulan Muharram Termasuk di dalamnya hari Asyura. ada pula yang mengatakan bahwa malam sepuluh itu ialah sepuluh malam pertama bulan Zulhijjah.
[1573] Iram ialah ibukota kaum ‘Aad.
[1574] Lembah ini terletak di bagian utara Jazirah Arab antara kota Madinah dan Syam. mereka memotong-motong batu gunung untuk membangun gedung-gedung tempat tinggal mereka dan ada pula yang melubangi gunung-gunung untuk tempat tinggal mereka dan tempat berlindung.
Adapun kata al-fajr telah diketahui maknanya, yaitu waktu shubuh. Demikian yang dikemukakan oleh ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, dari Masruq, dan Muhammad bin Ka’ab. Yang dimaksud dalam ayat ini adalah waktu fajar pada hari raya kurban, khusunya, yang merupakan penutup malam yang ke sepuluh. Dan yang dimaksud dengan “malam yang sepuluh” adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid, dan lain-lain dari kalangan kaum Salaf dan Khalaf. Dan dalam kitab Shahih al-Bukhari telah disebutkan riwayat Ibnu ‘Abbas secara marfu’: “Tidak ada hari-hari beramal shalih yang lebih disukai Allah daripada hari-hari ini.”
Yakni, sepuluh hari di bulan Dzulhijjah. Para shahabat bertanya: “Tidak juga jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab: “Tidak juga jihad di jalan Allah kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya kemudian dia tidak kembali lagi darinya.”
Imam Ahmad juga juga meriwayatkan dari Jabir, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Sesungguhnya sepuluh hari itu adalah sepuluh hari ‘Idul Adh-ha. Yang ganjil adalah hari ‘Arafah dan yang genap adalah hari Nahar (kesepuluh).”
Diriwayatkan oleh an-Nasa-i juga diriwayatan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari hadits Zaid bin al-Hibab. Dan perawi-perawinya adalah laa ba’-sa biHim (bisa diterima). Dan menurut saya, matan (teks haditsnya) bukan dari Rasulullah saw. wallaaHu a’lam.
Firman Allah: wasy syaf’i wal watri (“Dan yang gelap dan yang ganjil”). Mengenai hal ini telah dikemukakan sebuah hadits yang menjelaskan bahwa yang ganjil adalah hari Nahar yang jatuh pada hari kesepuluh. Dan dalam kitab ash-Shahihain disebutkan hadits dari riwayat Abu Hurairah, dari Rasulullah saw: “Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Barangsiapa yang menghitungnya, maka dia akan masuk surga. Dan Dia itu ganjil dan menyukai yang ganjil.”
Al-Hasan al-Bashri dan Zaid bin Aslam mengatakan: “Makhluk ini secara keseluruhan adalah genap dan ganjil, dimana Allah telah bersumpah dengan ciptaan-Nya.” Dan mengenai firmannya: wasy syaf’i wal watri (“Dan yang gelap dan yang ganjil”) al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia mengatakan: “Allah itu ganjil dan esa sedangkan kalian itu genap.”
Firman Allah: wal laili idzaa yasri (“Dan malam bila berlalu”). Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia mengatakan: “Yakni jika telah pergi.” Dan mungkin juga yang dimaksud adalah jika berjalan, yakni berangkat. Dan ada yang mengatakan bahwa ini adalah lebih tepat, karena ia dalam posisi berseberangan dengan firman-Nya: wal fajri (“Demi fajar”). Karena waktu fajar adalah beranjaknya waktu siang dan berakhirnya waktu malam.
Jika firman Allah: wal laili idzaa yasri (“Dan malam bila berlalu.”) diartikan beranjaknya waktu malam, maka hal itu terbagi menjadi: beranjakknya waktu malam dan berakhirnya waktu siang, dan juga sebaliknya, sama seperti firman Allah Ta’ala: wal laili idzaa ‘as ‘as. Wash shub-hi idzaa tanaffas (“Demi malam apabila telah hamper meninggalkan gelapnya. Dan demi shubuh apabila fajarnya mulai menyingsing.”) (at-Takwiir: 17-18). Demikian pula yang disampaikan adl-Dlahhak.
Firman-Nya: half ii dzaalika qasamul lidzii hijr (“Pada yang demikian itu terdapat sumpah [yang dapat diterima] oleh orang-orang yang berakal.”) yaitu orang-orang yang mempunyai akal dan berisi. Akal tersebut juga dengan sebutan al-hijr karena ia dapat mencegah manusia melakukan hal-hal yang tidak pantas untuk dilakukan, baik itu dalam bentuk perbuatan maupun ucapan. Sumpah ini berkaitan dengan waktu-waktu ibadah dan ibadah itu sendiri, yang terdiri dari haji, shalat, dan berbagai macam ibadah lainnya dari sarana yang bisa dipergunakan oleh hamba-hamba yang bertakwa lagi taat untuk mendekatkan diri kepada Allah, takut lagi tawadlu serta khusyu’ di hadapan wajah-Nya yang mulia untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Setelah menceritakan orangg-orang itu serta ibadah dan ketaatan mereka, selanjutnya Allah berfirman: a lam tara kaifa fa’ala rabbuka bi-‘aad. Irama dzaatil ‘imaad (“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana rabbmu berbuat terhadap kaum ‘Aad [yaitu] penduduk Iram yang mempunyai bangunan tinggi?”) mereka itu adalah kaum ‘Aad dari generasi pertama, yaitu putera ‘Aad Ibnu Iram Ibnu ‘Uush bin Saam bin Nuh. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu Ishaq. Mereka itu adalah kaum yang kepadanya Allah mengutus Rasul-Nya, Huud a.s. tetapi mereka mendustakan dan menantangnya, lalu Allah menyelamatkannya dari mereka bersama orang-orang yang beriman kepadanya, kemudian membinasakan selain mereka dengan angin yang berhembus sangat dingin lagi sangat kencang yang ditimpakan kepada mereka selama tujuh malam delapan hari secara terus menerus, sehingga engkau dapat melihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka itu tanggul –tanggul pohon kurma yang telah lapuk. Dan Allah Ta’ala telah menyebutkan kisah mereka di dalam al-Qur’an dan tempat-tempat lainnya agar orang Mukmin dapat menjadikan pelajaran dari peristiwa kebinasaan mereka itu. Dengan demikian, firman Allah Ta’ala: irama dzaatil ‘imaad (“[yaitu] penduduk Iram yang mempunyai bangunan yang tinggi.”) merupakan ‘athaf bayan untuk menambah pengenalan terhadap mereka.
Firman Allah: dzaatil ‘imaad (“Bangunan yang tinggi”) karena mereka tinggal di rumah-rumah bulu yang ditinggikan dengan tiang-tiang yang kokoh. Mereka itu adalah orang-orang yang berperangai paling kasar dan paling kuat pada zamannya. Allatii lam yukhlaq mitsluHaa fil bilaad (“Yang belum pernah dibangun [suatu kota] seperti itu, di negeri-negeri lain.”) artinya, sebelumnya tidak ada kabilah di negeri mereka yang diciptakan menyerupai mereka, karena kekuatan, kekasaran, dan besarnya struktur tubuh mereka. Muhahid mengatakan: “Iram adalah umat terdahulu, yaitu kaum ‘Aad generasi pertama.” Qatadah bin Di’amah dan as-Suddi mengemukakan: “Sesungguhnya Iram adalah rumah kerajaan ‘Aad.” Hal itu juga menjadi pendapat yang cukup jayyid, lagi kuat. Muhahid, Qatadah, dan al-Kullabi berkata tentang firman Allah: dzaatil ‘imaad: “Mereka adalah penduduk yang berpindah-pindah dan tidak menetap.” Dan firman Allah: Allatii lam yukhlaq mitsluHaa fil bilaad (“Yang belum pernah dibangun [suatu kota] seperti itu, di negeri-negeri lain.”) Ibnu Zaid mengembalikan dlamir [kata ganti] pada kata al-‘imaad karena ketinggiannya. Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa mereka mendirikan tiang-tiang dari pasir yang belum pernah didirikan bangunan seperti itu di negeri lain. Sedangkan Qatadah dan Ibnu Jarir mengembalikan kata ganti itu kepada kabilah. Artinya, belum pernah diciptakan makhluk seperti kabilah tersebut di negeri-negeri lain pada zaman mereka. Dan pendapat inilah yang benar. Sedangkan pendapat Ibnu Zaid dan orang-orang yang sependapat dengannya adalah lemah. Sebab jika yang dimaksud adalah hal tersebut, niscaya Dia akan mengatakan: “Yang belum pernah dikerjakan seperti itu di negeri-negeri lain.” Tetapi Dia mengatakan: Allatii lam yukhlaq mitsluHaa fil bilaad (“Yang belum pernah dibangun [suatu kota] seperti itu, di negeri-negeri lain.”)
Karenanya, setelah itu Dia mengatakan: wa tsamuudal ladziina jaabush shakhra bil waad (“Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu yang besar di lembah.”) yakni mereka memotong batu-batu di lembah. Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Mereka memahat dan membakarnya.” Demikianlah Muhahid, Qatadah, adl-Dlahhak, dan Ibnu Zaid berpendapat. Darinya disebut orang-orang mujtabii an-namaar jika mereka membakarnya dan ijtaaba ats-tsaub jika dia membukanya dan darinya juga terkandung al-jaib (kantong). Dan Allah berfirman: wa tanhituuna minal jibaali buyuutan faariHiin (“Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin.”) (asy-Syu’araa: 149)
Ibnu Ishaq mengatakan: “Mereka itu adalah orang-orang Arab. Dan tempat tinggal mereka adalah di lembah al-Qura.”
Firman Allah: wa fir’auna dzil autaad (“Dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak [tentara yang banyak].”) al-‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas: “Yang dimaksud dengan kata al-Autaad adalah bala tentara yang memberi dukungan kepadanya.” Ada juga yang mengatakan: “Fir’aun biasa mengikat tangan dan kaki mereka di tiang-tiang yang terbuat dari besi dan dengannya dia menggantung mereka.” Demikian yang disampaikan oleh Mujahid.
Dan firman Allah: alladziina thaghaw fil bilaad. Fa aktsaruu fiihal fasaad (“Yang berbuat sewenang-wenang dalam negerinya, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu.”) artinya mereka ingkar, melampaui batas, lagi menyebar kerusakan di bumi dan gangguan kepada manusia. Fashabba ‘alaiHim rabbuka sautha ‘adzaab (“Karena itu Rabb-mu menimpakan kepada mereka cemeti adzab”) yakni Dia menurunkan adzab dari langit kepada mereka dan menimpakan hukuman kepada mereka, yang tidak akan dapat dihentikan dari orang-orang yang berdosa itu.
Firman Allah: inna rabbaka labil mirshaad (“Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mengawasi.”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Mendengar dan melihat, yakni senantiasa mengawasi hamba-hamba-Nya atas apa yang mereka kerjakan dan memberikan balasan kepada masing-masing sesuai dengan usahanya di dunia dan akhirat. Dan semua makhluk akan diperlihatkan ke hadapan-Nya lalu diberikan keputusan berdasarkan keadilan-Nya dan masing-masing akan menerima apa yang selayaknya mereka terima. Dan Dia Mahasuci dari kedzaliman dan kesewenangan.
“15. Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. 16. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku” 17. sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, 18. dan kamu tidak saling mengajak memberi Makan orang miskin, 19. dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil), 20. dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (al-Fajr: 15-20)
Allah berfirman seraya mengingkari orang yang berkeyakinan, kalau memang Allah meluaskan rizky kepadanya adalah untuk mengujinya. Dengan demikian, dia meyakini bahwa semua itu dari Allah sebagai penghormatan baginya. Padahal tidak demikian. Tetapi yang demikian itu dimaksudkan untuk menguji dan sebagai cobaan baginya. Sebagaimana yang difirmankan Allah: “Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu [berarti bahwa] Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (al-Mu’minuun: 55-56)
Demikian juga pada sisi lain, jika Dia menguji, memberi cobaan, dan mempersempit riski, maka dia berkeyakinan bahwa hal tersebut sebagai penghinaan dari Allah untuk dirinya. Allah berfirman: kallaa (“sekali-sekali tidak”) artinya, masalahnya tidak seperti yang disangka, tidak dalam hal ini maupun hal lainnya. Sebab Allah memberikan harta kepada orang yang Dia cintai maupun kepada yang tidak dicintai-Nya. Sesungguhnya yang menjadi poros dalam hal tersebut adalah pada ketaatan kepada Allah pada masing-masing keadaan, dimana jika dia orang yang kaya, maka dia akan bersyukur kepada Allah atas hal tersebut dan jika dia orang yang miskin, maka dia akan senantiasa bersabar. Dan firman Allah: ballaa tukrimuunal yatiim (“Sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim.”) di dalamnya terkandung perintah untuk memuliakan anak yatim, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Muhammad bin ash-Shabah bin Sufyan memberitahu kami, ‘Abdul ‘Aziz, yakni Ibnu Abi Hazim memberitahu kami, ayahku pernah memberitahuku tentang Sahl, yakni Ibnu Sa’id, bahwasannya Rasulullah saw. pernah bersabda: “Aku dan pengasuh anak yatim seperti dua jari ini di dalam surga.” Beliau mensejajarkan dan menggabungkan jari tengah dan jari telunjuk.
Wa laa tahaadl-dluuna ‘alaa tha’aamil miskiin (“Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin.”) yakni tidak memerintahkan untuk berbuat baik kepada kaum miskin serta memerintahkan sebagian mereka atas sebagian yang lainnya dalam hal tersebut. Wa ta’kuluunat turaatsa (“Dan kamu memakan harta pusaka.”) yakni harta warisan. ak-lal lammaa (“Dengan cara mencampur baurkan”) yakni berasal darimanapun harta itu diperoleh, baik dari yang halal maupun yang haram. Wa tuhibbuunal maala hubban jammaan (“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.”) yakni secara berlebih-lebihan. Sebagian lain menambahkan, secara keji.
“21. jangan (berbuat demikian). apabila bumi digoncangkan berturut-turut, 22. dan datanglah Tuhanmu; sedang Malaikat berbaris-baris. 23. dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. 24. Dia mengatakan: “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini”. 25. Maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya, 26. dan tiada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya. 27. Hai jiwa yang tenang. 28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, 30. masuklah ke dalam syurga-Ku.” (al-Fajr: 21-30)
Allah memberitahukan tentang apa yang akan terjadi pada hari kiamat kelak berupa berbagai peristiwa yang sangat dasyat lagi menyeramkan, dimana Allah berfirman: kallaa (“Sekali-sekali tidak”) artinya benar-benar. Idzaa dukkatil ardlu dakkang dakkaa (“Apabila bumi diguncangkan berturut-turut”) yakni bumi dan gunung-gunung diratakan. Dan semua makhluk bangkit dari kuburan mereka masing-masing menuju ke hadapan-Nya. Wa jaa-a rabbuka (“Dan datanglah Rabb-mu”) untuk memberi keputusan di antara makhluk-makhluk-Nya. Dan itu berlangsung setelah mereka meminta syafaat kepada satu-persatu dari para rasul ulul ‘azmi. Dimana masing-masing rasul berkata kepada mereka: “Aku tidak berhak memberikan syafaat kepada kalian,” sehingga akhirnya perwakilannya berakhir kepada Nabi Muhammad sawa, dan beliau berkata: “Akulah yang berhak memberinya, akulah yang berhak memberinya.” Kemudian beliaupun pergi dan memberi syafaat di hadapan Allah Yang Mahatinggi supaya Dia datang untuk memberikan keputusan, maka Allah pun memberikan syafaat kepada beliau dalam hal tersebut. Dan itulah syafaat yang paling pertama, yaitu tempat yang terpuji, sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam surah al-Irsraa’. Selanjutnya Rabb datang untuk memberikan keputusan seperti yang dikehendaki-Nya, dan para malaikat datang ke hadapan-Nya dalam keadaan berbaris rapi.
Firman Allah: wa jii-a yauma-idzim bijaHannam (“Dan pada hari itu diperlihatkan Neraka jahanam”) Imam Muslim bin al-Hajjaj meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, dari ‘Abdullah, yakni bin Mas’ud, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Pada hari itu neraka jahanam akan dihadirkan, dimana neraka ini mempunyai tali kekang 70.000 buah. Setiap kekang dipegang oleh 70.000 malaikat, mereka menariknya.” (HR Muslim) demikian pula yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.
Firman Allah: yauma-idziy yatadzakkarul ingsaanu (“Pada hari itu ingatlah manusia”) yakni amal perbuatannya dan apa yang telah dia kerjakan di masa lalu maupun yang dia kerjakan sebelum kematiannya. Wa annaa laHudz dzikraa (“Akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.”) artinya, bagaimana ingatan itu akan bermanfaat baginya. Yaquulu yaa laitanii qaddamtu lihayaatii (“Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan [amal shalih] untuk hidupku ini.”) yakni dia menyesali berbagai kemaksiatan yang pernah dia lakukan, jika dia dulu sebagai orang yang durhaka. Dan dia ingin terus-menerus menambah ketaatan jika dia dulu seorang yang taat.
Firman Allah: fayauma-idzil laa yu-‘adzdzibu ‘adzaabaHuu ahad (“Maka pada hari itu tidak ada seorangpun menyiksa seperti siksaan-Nya”) artinya tidak ada seorangpun yang siksaannya lebih keras daripada siksaan Allah dan Dia timpakan kepada orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya. Wa laa yuutsiqu wa tsaaqaHuu ahad (“Dan tidak ada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya”) maksudnya tidak ada seorangpun yang lebih kuat genggaman dan ikatannya melebihi ikatan Zabaniah [Malaikat] bagi orang-orang kafir kepada Rabb-nya. Semuanya itu hanya ditimpakan kepada orang-orang jahat dan orang-orang dzalim dari makhluk-Nya. Sedangkan jiwa yang bersih lagi tenang, maka ia akan benar-benar merasa tenteram dan nyaman serta senantiasa berputar dalam lingkaran kebenaran. Maka dikatakan kepadanya: yaa ayyatuHan nafsul muth-ma-innaH. Irji-‘ii ilaa rabbiki (“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu.”) yakni kehadapan-Nya dan pahala-Nya serta apa yang telah disediakan bagi hamba-Nya di surga. Raadliyah (“dengan hati yang puas”) yakni di dalam jiwanya, mardliyyaH (“lagi diridlai-Nya”) artinya jiwa yang ridla kepada Allah dan Dia pun ridla kepadanya serta menjadikannya selalu ridla.
Fad-khulii fii ‘ibaadii (“Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku”) yakni ke dalam golongan mereka. Wad-khulii jannatii (“Dan masuklah ke dalam surga-Ku”) yang demikian itu dikatakan kepadanya saat sakaratul maut dan pada hari kiamat kelak, sebagaimana para malaikat menyampaikan berita gembira kepada orang mukmin ketika sakaratul maut dan ketika bangkit dari kuburnya. Maka demikian pula di sini. Sekian.
No comments:
Post a Comment